dipublikasikan, 10 Agustus 2006
Sunni, Syiah dan Politik Timur Tengah Kamis
oleh: Laith Saud
(peneliti masalah Irak dan dosen di Amerika)
Pengantar Redaksi HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) Press:
Amerika Serikat dan Negara-negara Barat seringkali menjadikan alasan konflik Sunni dan Syiah di Timur Tengah menjadi alasan untuk tetap berada di Irak. Tulisan ini memberikan gambaran kepada kita bahwa isu konflik Sunni dan Syiah tidak lain untuk kepentingan AS dan Negara-negara Barat. Secara historis, selama ini tidak ada konflik terbuka dan meluas antara Sunni dan Syiah di Irak. Mereka hidup berdampingan. Justru konflik ini sengaja semakin dikobarkan untuk mengalihkan rakyat Irak dari penjajah sebenarnya yakni AS. Sebaliknya AS menjadikan isu ini untuk mempertahankan kedudukannya di Irak. Selamat membaca.
Ada keyakinan yang berkembang diantara para ahli teori politik bahwa demokrasi tidak berperang dengan yang lainnya, paradigma politik ini berlaku sebagai pembenaran bagi seruan pemerintahan Bush untuk "demokratisasi" di Timur Tengah. Sejak invasi Irak tahun 2003, tema "demokratisasi" telah menjadi topic utama pada wacana politik Amerika dan sebenarnya menyertai hamper semua perbincangan tentang dunia Arab-muslim dan apa yang dinamakan sebagai peran Amerika di situ. Respons Pemerintahan Bush pada konflik yang sekarang terjadi di Selatan Libanon, membuktikan kemunafikan dan bahwa ideology sesungguhnya dari pemerintahan ini adalah menciptakan ketegangan sectarian di wilayah ini.
Analis politik Barat terus membicarakan apa yang dituduhkan sebagai kebencian "bersejarah" antara Sunni dan Syiah di wilayah itu. Dexter Filkins, wartawan Irak yang bekerja untuk New York Times mengatakan dalam suatu wawancara radio bahwa kaum Sunni di Irak sekarang "sadar bahwa Shiah adalah musuh mereka sesungguhnya, bukan orang Amerika."
Tapi pada kenyataannya pernyataan ini bertentangan dengan sejarah, kaum Sunni dan Syiah Irak telah hidup rukun selama berabad-abad. Buku-buku sejarah modern tidak pernah menyebutkan terjadinya perang diantara kedua golongan itu, hingga akhirnya terjadi invasi pimpinan Amerika ke Irak.
Martin Peretz menyatakan bahwa konflik sosial yang paling membinasakan adalah sejarah Timur Tengah "bahwa kaum Sunni membenci Syiah dan sebaliknya," pernyataan lain yang tidak berdasar menegaskan bahwa kaum muslimin bisa lebih membahayakan satu sama lain daripada terjadinya pendudukan yang illegal atas tanah mereka. Analis dan wartawan Barat dengan antusias menemukan hal baru pada sejarah sectarian di dunia Islam hingga perlu diberi konteks baru.
Bahayanya terletak pada pernyataan yang tidak berdasar yang dibuat oleh wartawan-wartawan Barat, yang menjadi lebih besar pengaruhnya manakala pembuat kebijakan dan pemilih di Amerika mempercayai mereka hingga perlu diambil tindakan yang seharusnya di wilayah kaum Muslimin dan Arab.
Menarik untuk dicatat bahwa penguasa-penguasa yang tidak popular dan tidak terpilih, raja-raja dan perampas tanah adalah mereka yang terobsesi oleh yang dikatakan sebagai meningkatnya ketegangan sektarian di wilayah itu. Raja Abdullah II dari Yordania, sekutu dekat Amerika telah memperingatkan Barat atas apa yang disebut sebagai "bulan sabit Syiah" yang membentang dari Iran, melintasi Irak, Syria dan berakhir di Selatan Libanon.
Banyak orang di Barat, termasuk wartawan-wartawan pro Zionis uang berpengaruh seperti Thomas Friedman, memuji Mesir, Yordania dan arab Saudi - negara-negara yang Nicholas Blanford digambarkan sebagai "negara-negara Arab dengan pimpinan kaum Suni yang bersahabat dengan Barat."
George Bush senantiasi senang mengundang keluarga Saud ke Gedung Putih untuk berfoto ria dengan sang presiden yang seringkali memakai istilah "dunia bebas".
Desakan pada sekterianisme ini bertumpu pada putaran yang berbahaya. Wartawan-wartawan Barat telah terus menerus mengatakan bahwa kehadiran Amerika di Irak diperlukan untuk mencegah meletusnya perang saudara, suatu ide yang banyak dipercaya orang Amerika.
Percuma mengatakan bahwa kehadiran Amerika tidak berarti apa-apa selain menghidupkan ketegangan penduduk sipil di Negara itu. Raja-raja Arab menakut-nakuti rakyatnya dengan ancaman sektarian palsu, sambil memperkuat cengkramannya pada kekuasaan.
Sementara rejim-rejim seperti keluarga Saudi sekarang telah memesan sejumlah besar senjata dari Barat untuk melindungi mereka dari apa yang dianggap sebagai ancaman sektarian yang berasal dari Iran.
Wartawan dan analis Barat berulang kali menegaskan bahwa bahwa adanya ketegangan sektarian di Timur Tengah sebenarnya membenarkan pendudukan Amerika atas sebagian besar wilayah itu, menghasut agar terjadinya perlombaan senjata dimana Barat adalah dermawan utamanya dan melindungi cengkraman penguasa tiran pada kekuasaan dan kerajaan yang memerintah dengan menciptakan ketakutan.
Fakta bahwa Barat mempersenjatai rejim yang tidak dipilih di Saudi Arabia terhadap rejim yang terpilih di Iran menunjukkan indikator ketegasan hasrat Amerika atas wilayah itu.
Tampaknya fakta akan meningkatnya ketegangan di Irak, Palestina dan Libanon, telah memberikan terlalu banyak tekanan pada apa yang tampak yang dilakukan Amerika seperti kebebasan dan demokrasi dan telah menunjukkan watak asli Amerika di belakang itu semua.
Ada dua komponen utama pada kebijakan Amerika di Timur Tengah: Pertama, pemerintahan Bush amat merendahkan bagi adanya demokrasi yang sesungguhnya di Timur Tengah dan Kedua, pemerintahan ini ingin sekali terjadinya perang saudara di seluruh wilayah itu.
Pengamatan ini mungkin tampak jelas bagi para pembaca Barat- dan ini persepsi yang umum di kalangan pembaca Arab dan muslim-namun bila kita mengamati tingkah laku Amerika, sulit menyimpulkan sebaliknya.
Pertama target utama kritik Amerika dan agresi Israel pada krisis yang sekarang ini - Hamas dan Hizbullah keduanya adalah kelompok-kelompok perlawanan yang amat popular yang terpilih lewat perwakilan terpilih yang demokratis.
Presiden Ahmadinejad dari Iran, yang dipilih sendiri oleh penduduk Iran, adalah target kritik internasional karena pendiriannya yang keras terhadap Israel.
Namun Bush seringkali berkata bahwa dia adalah seorang pemimpin dari Negara dari kelompok "dunia bebas" yang mendukung penguasa-penguasa yang tidak terpilih di Arab Saudi, Yordania dan Mesir. Hubungan yang mesra dari Pemerintahan Bush dengan penguasa-penguasa itu seharusnya bisa menjadi peringatan bagi kaum reformis di Arab dan dunia Islam yang berusaha menemukan persekongkolan dalam harapannya akan perubahan politik.
Lebih lanjut, menganalisa politik Amerika dalam masalah ini harus juga bisa menyibak kejadian politik belakangan yang terjadi di Irak hinnga mampu menjelaskan kejadian2 hingga keadaan negara itu sekarang ini.
Pemimpin-pemimpin Arab itu telah membenarkan persekongkolan mereka dengan Amerika dengan memunculkan sekterianisme, sementara Amerika membenarkan persekongkolan dengan raja-raja dan diktator itu atas nama "perlindungan" terhadap kaum sunni terhadap apa yang dikatakan sebagai ancaman sektarian yang berasal dari Iran dan Hizbullah yang adalah kaum Syiah.
Mari kita buat jelas permasalahannya - ancaman ini tidak bisa diketahui diantara masyarakat Arab, karena hal itu hanyalah ide abstrak yang melayani mereka yang berkuasa.
Ketika seseorang melangkah mundur dan melihat sebuah gambaran yang lebih luas pada konflik masa kini maka menjadi jelas dan ironis bahwa para penguasa dan rejim terpilih di dunia Islam adalah target kebencian Amerika dan Israel.
Di satu sisi ada Iran, Hamas dan Hizbullah, yang semuanya mencapai kekuasaan melalui proses pemilihan walaupun dengan kekurangan dan kelihannya sendiri. Dalam kasus Hamas, dan rejim Ahmadinejad di Iran, kita memiliki pemerintahan terpilih, dalam kasus Hizbullah kita punya organisasi popular yang dipilih sebagai bagian dari pemerintahan.
Disisi lain ada Mesir, Yordania dan Saudi Arabia, dengan raja-rajanya yang tidak perlu dipilih dan penguasa tak terpilih yang berdiri disisi Amerika, Negara yang menganggap dirinya kampiun demokrasi di wilayah itu, yang menyetujui agresi Israel.
Condoleeza Rice, Menlu Amerika, telah menggambarkan konflik masa kini sebagai "lahirnya kepedihan" dari Timur Tengah yang baru, yang tampaknya adalah Timur Tengah yang mewakili penduduknya.
Sebagaimana yang saya sebutkan, jika seorang ingin tahu visi Rice terhadap Timur Tengah, maka anda lihat saja apa yang terjadi di Irak, dimana Amerika mendorong terlaksanannya pemilu sektarian dan rakyat Irak masih terobsesi permasalahan yang terjadi antara Suni dan Syiah hingga mereka lupa bahwa tanah meeka diduduki secara ilegal.
Sementara para analis politik Barat menggambarkan Hizbullah hanya sebagai perpanjangan tangan Iran, dan karena itu disebut "kepentingan Syiah," penduduk Mesir dan Amman, yang kebanyakan adalah "kota-kota Sunni" turun ke jalan sambil membawa gambar-gambar Hasan Nasrullah, pemimpin Syiah Arab, sambil menentang "perselisihan Sunni-Syiah," kata Peretz.
Kebanyakan pengamat Barat telah menolak dukungan yang meluas kaum Sunni bagi Hizbullah di seantero Negara Arab dan dunia Islam. Di Irak, Amerika memakai formula sekterianisme agar bisa menembus lebih dalam pada kancah politik di Irak; sekarang kami tahu bahwa formula ini akan dipakai di seluruh dunia Islam.
Kaum Sunni di Arab dipaksa melupakan agresi terus-menerus Israel atas rakyat Arab agar mencari "perlindungan" pada Amerika yang akan "melindungi" mereka dari kaum Syiah, sementara kaum Syiah di Irak berusaha diyakinkan bahwa mereka membutuhkan Amerika untuk melindungi mereka dari kaum Sunni.
Perdana Menteri Palestina Ismail Haniya barangkali menggambarkan semuanya dalam suatu perspektif yang pas dengan mengkomentari isu atas Timur Tengah "baru". Dia mengamati bahwa yang dimaksud dengan "perubahan" oleh Amerika di Timur Tengah adalah berakhirnya legitimasi kelompok perlawanan terhadap pendudukan yang tidak bermoral dan illegal dan kaum muslimin senantiasa dibawah dominasi Amerika dan Israel.
Pengamatannya tampaknya benar karena New York Times baru-baru ini melaporkan bahwa Amerika akhir-akhir ini sibuk mensuplai senjata ke Israel. Kita harus ingat, bahwa rudal-rudal itu dimaksudkan untuk membom Libanon, sebuah Negara yang pemerintahannya terpilih secara demokratis (dimana ada perwakilan Hizbullah). Jadi teori bahwa demokrasi tidak berperang dengan yang lainnya adalah palsu.
Source: http://hizbut-tahrir.or.id dari hasil terjemahan artikel http://english.aljazeera.net/NR/exeres/212B6227-F9D3-445B-ACC6-61B53B2EE70A.htm (1 Agustus 2006)
0 comments
Post a Comment